Belajar Kejujuran
dari Ibu Asyati
Oleh: Dr. Saeful Kurniawan,
S.Pd., M.Pd.U
Seperti lazimnya, setiap selesai sholat subuh penulis menulis artikel
yang kontekstual dengan pengalaman hidup, setelah selesai melakukan rutinitas
jurnalistik, penulis beranjak dari tempat duduk menuju sepeda gunung. Setelah
berkemas dan mempersiapkan diri, penulis mulai mengayuh sepeda menyusuri jalan
menuju arah desa Sempol dan memotong jalan melalui arah jalan pintas. Dimana
jalan tersebut penulis melewati jalan setapak di tengah hamparan persawahan
yang hijau ranau. Dalam perjalanan tersebut sesekali berhenti sejenak untuk
sekedar rehat saja. Setelah itu, penulis melanjutkan perjalanan dengan mengayuh
sepeda gunung warna merahnya, yang menjadi sepeda kesayangannya.
Sesampainya di dekat masjid,
penulis berhenti sejenak dan mampir disebuah warung kopi milik ibu Asyati.
Beliau seorang ibu yang sudah sepuh tapi pantang membebani anak-anaknya. Ia
dengan tenaganya yang sudah mulai renta dan ringkih menjual secangkir kopi dan
menu makanan sederhana lainya untuk memenuhi kebutuhanya sehari-hari.
Pada saat penulis menikmati
secangkir kopi, tiba-tiba dikejutkan dengan seorang laki-laki paruh baya masuk
kedalam warung sambil mencari sesuatu.
Melihat gelagat yang tidak biasa
dilalukan oleh pengunjung yang lain, ibu Asyati selaku pemilik warung
menegurnya dengan suara halus,
"Napeh cong?(ada apa
nak?)" tanyanya.
Lelaki tersebut menjawab:
"Pesse tasengsal e ka'entoh
buk.(Uang saya ketinggalan disini)" timpalnya.
"Sanapah cong?(berapa
nak?)" tanya ibu Asyati lagi.
"Saratos ebuh buk.(seratus
ribu ibu)." tuturnya.
"Oh...nikah obengah cong,
bhuleh cet adentek thikah.(Oh ini uangnya nak, saya memang menunggu
kamu)." sambil ibu Asyati menyodorkan uang kertas senilai seratus ribu
rupiah.
Subhanallah....sungguh mulia dan
jujur hati ibu Asyati, kendati ia hidup pas pasan namun ia pantang mengambil
uang yang memang bukan haknya. Ibu Asyati memang buta huruf tidak bisa baca dan
menulis, namun ia mampu membedakan mana yang menjadi haknya, dan mana yang
bukan haknya.
Berbeda sekali, dengan pengalaman
penulis, waktu itu mau menyetor uang armada Bus Jember Indah di kota Jember
untuk mengadakan Tour Wali Songo, tiba-tiba penulis dikejutkan oleh seorang
laki-laki yang memakai sarung, jaz, sorban, dan gamis serta asesoris ulama
lainnya. Ia memaksa penulis untuk membeli cicinya seharga 5 juta, ia bilang
cincin itu dari orang tuanya KH.Muhammad Kholil Bangkalan Madura salah satu
ulama besar di pulau jawa yang sudah mengorbitkan ulama besar di Nusantara.
Penulis mencoba menolaknya, karena uang yang dipegang penulis kepunyaanya jamaah
tour wali songo. Melihat penuli menolak untuk membelinya, ia naik pitam dan
marah-marah sambil memgeluarkan sumpah sarapah. Naudzu billah....
Ada juga teman penulis yang jadi
korban penipuan oleh salah satu putera mahkota salah satu ulama terkenal. Pasalnya,
mereka bermitra dalam bisnis rental mobil mewah, awal berjalan mulus namun
ditengah perjalanan mobil-mobil hasil kerjasama tersebut digelapkan oleh oknum
putera kyai itu yang menelan kerugian mencapai milyaran rupiah. Akhirnya, teman
penulis menghadap dan melaporkan kejadian itu kepada ayah (abi)nya. Orang tua
tersebut menanyakan,
"Berapa uang yang sudah
diambil anak saya nak?" tanya beliau.
"Sekian milyar kyai..."
jawabnya.
"Baik, kirim berapa nomer
rekeningnya?nanti saya transfer." tuturnya.
Astaghfirullah, orang tuanya
menggantikan uang milyaran rupiah karena ulah anak-anaknya.
Ditempat yang terpisah, saudara
penulis punya sepeda motor kemudian dipinjam oleh salah satu putera kyai
terkenal namun, tidak kunjung dikembalikan ternyata sepeda itu raib atau hilang
karena di jual kepada orang lain.
Hikmah dari cerita diatas,
kebenaran bisa datang dari siapa saja termasuk dari seorang ibu Asyati pemilik
warung kopi yang mengembalikan uang seratus ribu rupiah yang hilang kepada
pemiliknya. Namun, kejahatan bisa juga datang dari orang-orang terhormat yang
memakai asesoris ke ulamaan yang dijadikam kedok untuk mengelabuhi korbannya.
Penulis ingat nasehat bang napi
di RCTI sebagai berikut:
" Awas hati-hati...kejahatan
terjadi bukan karena ada niat dari sang pelaku, namun kejahatan terjadi karena
adanya kesempatan Waspadalah....waspadalah...."
Sesuai dengan firman Allah SWT.:
"Sesungguhnya Allah tidak
melihat bentuk posturnya, akan tetapi Allah melihat hatinya."
Oleh sebab itu, jangan mudah
percaya hanya dengan melihat penampilan yang memukau, bisa jadi ia akan
menipumu. Sebaliknya, jangan menganggap hina dan remeh temeh terhadap orang
yang berpenampilan kusut dan kotor, siapa tahu ia berhati mulia seperti halnya
ibu Asyati.
Wahai para pejabat negara,
belajarlah dari kejujuran ibu Asyati ini.
Bondowoso, 15 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar