Kamis, 15 Agustus 2019

Belajar Kejujuran dari Ibu Asyati



Belajar Kejujuran dari Ibu Asyati

Oleh: Dr. Saeful Kurniawan, S.Pd., M.Pd.U

Seperti lazimnya, setiap  selesai sholat subuh penulis menulis artikel yang kontekstual dengan pengalaman hidup, setelah selesai melakukan rutinitas jurnalistik, penulis beranjak dari tempat duduk menuju sepeda gunung. Setelah berkemas dan mempersiapkan diri, penulis mulai mengayuh sepeda menyusuri jalan menuju arah desa Sempol dan memotong jalan melalui arah jalan pintas. Dimana jalan tersebut penulis melewati jalan setapak di tengah hamparan persawahan yang hijau ranau. Dalam perjalanan tersebut sesekali berhenti sejenak untuk sekedar rehat saja. Setelah itu, penulis melanjutkan perjalanan dengan mengayuh sepeda gunung warna merahnya, yang menjadi sepeda kesayangannya.

Sesampainya di dekat masjid, penulis berhenti sejenak dan mampir disebuah warung kopi milik ibu Asyati. Beliau seorang ibu yang sudah sepuh tapi pantang membebani anak-anaknya. Ia dengan tenaganya yang sudah mulai renta dan ringkih menjual secangkir kopi dan menu makanan sederhana lainya untuk memenuhi kebutuhanya sehari-hari.

Pada saat penulis menikmati secangkir kopi, tiba-tiba dikejutkan dengan seorang laki-laki paruh baya masuk kedalam warung sambil mencari sesuatu.

Melihat gelagat yang tidak biasa dilalukan oleh pengunjung yang lain, ibu Asyati selaku pemilik warung menegurnya dengan suara halus,

"Napeh cong?(ada apa nak?)" tanyanya.
Lelaki tersebut menjawab:

"Pesse tasengsal e ka'entoh buk.(Uang saya ketinggalan disini)" timpalnya.

"Sanapah cong?(berapa nak?)" tanya ibu Asyati lagi.

"Saratos ebuh buk.(seratus ribu ibu)." tuturnya.

"Oh...nikah obengah cong, bhuleh cet adentek thikah.(Oh ini uangnya nak, saya memang menunggu kamu)." sambil ibu Asyati menyodorkan uang kertas senilai seratus ribu rupiah.

Subhanallah....sungguh mulia dan jujur hati ibu Asyati, kendati ia hidup pas pasan namun ia pantang mengambil uang yang memang bukan haknya. Ibu Asyati memang buta huruf tidak bisa baca dan menulis, namun ia mampu membedakan mana yang menjadi haknya, dan mana yang bukan haknya.

Berbeda sekali, dengan pengalaman penulis, waktu itu mau menyetor uang armada Bus Jember Indah di kota Jember untuk mengadakan Tour Wali Songo, tiba-tiba penulis dikejutkan oleh seorang laki-laki yang memakai sarung, jaz, sorban, dan gamis serta asesoris ulama lainnya. Ia memaksa penulis untuk membeli cicinya seharga 5 juta, ia bilang cincin itu dari orang tuanya KH.Muhammad Kholil Bangkalan Madura salah satu ulama besar di pulau jawa yang sudah mengorbitkan ulama besar di Nusantara. Penulis mencoba menolaknya, karena uang yang dipegang penulis kepunyaanya jamaah tour wali songo. Melihat penuli menolak untuk membelinya, ia naik pitam dan marah-marah sambil memgeluarkan sumpah sarapah. Naudzu billah....

Ada juga teman penulis yang jadi korban penipuan oleh salah satu putera mahkota salah satu ulama terkenal. Pasalnya, mereka bermitra dalam bisnis rental mobil mewah, awal berjalan mulus namun ditengah perjalanan mobil-mobil hasil kerjasama tersebut digelapkan oleh oknum putera kyai itu yang menelan kerugian mencapai milyaran rupiah. Akhirnya, teman penulis menghadap dan melaporkan kejadian itu kepada ayah (abi)nya. Orang tua tersebut menanyakan,

"Berapa uang yang sudah diambil anak saya nak?" tanya beliau.

"Sekian milyar kyai..." jawabnya.

"Baik, kirim berapa nomer rekeningnya?nanti saya transfer." tuturnya.

Astaghfirullah, orang tuanya menggantikan uang milyaran rupiah karena ulah anak-anaknya.

Ditempat yang terpisah, saudara penulis punya sepeda motor kemudian dipinjam oleh salah satu putera kyai terkenal namun, tidak kunjung dikembalikan ternyata sepeda itu raib atau hilang karena di jual kepada orang lain.

Hikmah dari cerita diatas, kebenaran bisa datang dari siapa saja termasuk dari seorang ibu Asyati pemilik warung kopi yang mengembalikan uang seratus ribu rupiah yang hilang kepada pemiliknya. Namun, kejahatan bisa juga datang dari orang-orang terhormat yang memakai asesoris ke ulamaan yang dijadikam kedok untuk mengelabuhi korbannya.

Penulis ingat nasehat bang napi di RCTI sebagai berikut:

" Awas hati-hati...kejahatan terjadi bukan karena ada niat dari sang pelaku, namun kejahatan terjadi karena adanya kesempatan Waspadalah....waspadalah...."

Sesuai dengan firman Allah SWT.:

"Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk posturnya, akan tetapi Allah melihat hatinya."

Oleh sebab itu, jangan mudah percaya hanya dengan melihat penampilan yang memukau, bisa jadi ia akan menipumu. Sebaliknya, jangan menganggap hina dan remeh temeh terhadap orang yang berpenampilan kusut dan kotor, siapa tahu ia berhati mulia seperti halnya ibu Asyati. 

Wahai para pejabat negara, belajarlah dari kejujuran ibu Asyati ini.


Bondowoso, 15 Agustus 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Esensi Menyambut Tahun Baru Islam

Esensi Menyambut Tahun Baru Islam Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, S.Pd., M.Pd.I Masa Rasulullah saw Islam hanya memi...