KH. Utsman, Sang Singa Pesantren.
Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, S.Pd., M.Pd.I
Dusun Beddian awalnya hutan belantara yang dihuni binatang-binatang buas, yang membentang dari gunung Raung. Hutan belantara tersebut dikenal sangat angker dan menyeramkan, karena disamping dihuni oleh binatang buas, juga dihuni oleh mahluk halus atau dedemit. Pada saat itu, warga tidak ada yang berani memasuki hutan tersebut.
Pada tahun 1934 Masehi, Masudin yang populer dengan sebutan KH. Utsman bin Jumadi setelah pulang dari rihlah ilmiahnya yang dibantu oleh adik-adiknya, KH. Umar dan KH. Mawardi serta santri-santri yang menyertainya dari pesantren al-Wafa Tempurejo Jember, membabat dan merambah hutan tersebut untuk didirikan sebuah pesantren dan perkampungan.
Upaya Masudin akhirnya terwujud dengan berdirinya pesantren kecil yang terdiri dari beberapa gubuk saja yang difungsikan sebagai rumah, musholla, asrama, dan padepokan pencak silat.
Sejak tahun 1934 masehi, pesantren kecil tersebut mulai ada perubahan dan perkembangan pasalnya santrinya berdatangan dari segala penjuru Nusantara. Oleh sebab itu, tahun tersebut ditetapkan sebagai tahun berdirinya pondok pesantren al-Utsmani.
Kemudian hutan tersebut disulap menjadi areal pertanian seperti ladang, kebun, dan tanah produktif lainya. Sehingga mempunyai implikasi positif bagi warga sekitar yang menjadi mediasi hubungan harmonis antara KH. Utsman dan penduduk sekitar serta saling berpartisipasi (simbiosis mutualisme) dalam pengembangan daerah tersebut.
KH.Utsman, disamping mengajarkan ilmu agama, beliau pun mengajar dan melatih para pemuda desa ilmu bela diri dalam rangka bekal menghadapi penjajah Belanda, sehingga lambat laun nama Masudin cepat terkenal hingga keluar daerah, dalam waktu singkat jumlah (kuantitas) santri semakin hari semakin bertambah.
Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, pondok pesantren al-Utsmani tidak hanya fokus kepada pengembangan institusi pendidikan saja, akan tetapi juga berkonsentrasi memberikan pelatihan bela diri kepada tunas mudanya dalam melawan penjajah Belanda sehingga pondok pesantren al-Utsmani menjadi sentral dan markas penyusunan strategi melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Masudin kecil lahir di dusun Beddian pada tahun 1895 Masehi, setelah tumbuh remaja, orang tuanya mengirim ke dusun Dekon Kejawan untuk belajar ilmu agama. Setelah itu, beliau melanjutkan studi ilmiahnya di pesantren Banyuanyar Madura sambil menemani putera KH. Abdul Muin.
Berselang kemudian, Masudin melanjutkan studinya di pesantren Sidogiri Pasuruan yang diasuh oleh KH. Nawawie sesekali sambil tabarrukan di pondok pesantren Buduran Panji Sidoarjo yang diasuh oleh KH. Khozin.
Di pondok pesantren Sidogiri Masudin menjadi khodam yang tugas utamanya mengisi air dikamar mandi seluruh pesantren. Kendati demikian, Masudin juga fokus dan rajin belajar kitab-kitab mu'tabarah selama sebelas bulan tanpa henti dan tanpa keluar kamar (uzlah). Pantas, jika ada masalah (muskilah) hukum, pengasuh pesantren Sidogiri mempercayakan kepada Masudin untuk menjawabnya.
Penulis diceritakan oleh salah seorang dari Koncer Darul Aman bapak Soebahar yang menjadi kepercayaan alm. KH.Muis Turmudzi,
"Saya di Suruh oleh kyai Muis mengantarkan sepucuk surat dari Mekah untuk KH. Utsman" tandasnya. "Isinya tentang apa" tanya penulis penasaran. "Tidak tahu juga, namun setelah surat tersebut saya serahkan kepada KH. Utsman, beliau menjerit histeris" jawabnya.
Pada tahun 1930 Masehi beliau mendampingi putera guru KH. Abdul Aziz yang populer dengan sebutan KH.Ali Wafa putera sulung KH. Abdul Hamid bin Ishaq berpetualang dan mendirikan pondok pesantren al-Wafa Tempurejo Jember. Disana KH. Utsman dengan tulusnya mendampingi perjuangan gurunya dari berbagai aral melintang yang menghambat jihad ilmunya. Pada suatu hari, penulis mendapatkan informasi tentang keberanian KH. Utsman dari teman dekatnya yang bernama KH. Abdul Azis Pekalangan Bondowoso.
"Dulu Tempurejo, sering diganggu oleh nenek sihir yang menjelma macan jadi-jadian ketika malam hari, ia kerap kali mengganggu ketenangan santri, namun ketika dipanggilkan nama "KH. Utsman" nenek sihir tersebut ketakutan dan lari tunggang langgang." Tandasnya dengan penuh keseriusan. Sejak kejadian itu, KH. Utsman di juluki Singa Pesantren oleh rekan-rekannya.
Pada waktu yang lain, penulis mendapatkan cerita dari santri kesayangannya alm. KH. Abdurrahman Pringgodani,
"KH.Utsman, pernah bersilaturahim ke bapak saya di Pringgodani Jember kebetulan yang mendampinginya saya sendiri, jam sudah menunjukkan jam 5 sore, kyai bilang, 'ayo kita pulang saja, usahakan sholat Maghrib berjamaah di pondok saja, ikuti saya dari belakang tidak boleh tolah-toleh ya...'subhanallah, kami berdua tiba di pondok menjelang adzan sholat maghrib padahal, menurut hitungan akal, perjalanan dari Pringgodani menuju pondok pesantren al-Utmani Beddian akan memakan waktu kurang lebih 4-5 jam perjalanan karena kita berjalan kaki."Terangnya sambil menyuguhkan secangkir kopi kepada penulis di kediamannya. Artinya, beliau bisa melipat waktu dengan cepat tanpa bisa di nalar oleh rasio orang kebanyakan, karena hal itu memang anugerah khusus dari Allah SWT. kepada hamba-Nya yang Sholih (Hadza min Fadli Rabbiy).
Penulis juga diceritakan oleh mbah Mun salah satu tokoh di Prajekan,
"KH. Utsman, pernah di undang ngisi pengajian di daerah Prajekan, tiba-tiba lokasi pengajian tersebut dilempari batu oleh orang tidak dikenal. Kyai Utsman meminta jamaah jangan panik, dan minta jamaah baca surat alfatihah satu kali, nanti kalau ada yang jerit-jerit berarti ia pelakunya." Terangnya dirumah penulis. "Tiba-tiba ada orang tergopoh-gopoh sambil menjerit histeris minta maaf" lanjutnya.
Hikmah dari tulisan diatas bisa menjadi referensi bagi para pembaca Budiman terutama para santrinya, agar tidak patah semangat mencari ilmu sebagai mana sabda Nabi Muhammad SAW.
"Tuntutlah ilmu, mulai dari buaian ibu sampai masuk ke liang lahat."
Ilmu didapat dengan jerih payah bukan diperoleh dari garis keturunan secara gratis. Ilmu butuh kesungguhan dan ketekunan, sebagaimana yang dikatakan oleh ahli hikmah,
"Al-Ilmu bi al-ta'ab, laa bi al-nasab."
Artinya, ilmu itu bisa diperoleh dengan usaha maksimal, bukan diperoleh dari garis keturunan.
Bondowoso, 31 Agustus 2019
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMohon koreksi ustadz, KH. Abd Hamid bin Istbat, bukan bin ishaq.
BalasHapusAfwan