Belajar Dari Bapak Sugeng Yang
Tangguh
Seusai membeli asesoris mobil di
Situbondo, penulis mampir di warung lecil samping Jembatan untuk sekedar
mengganjal perut yang sudah mulai keroncongan, menariknya lagi warung tersebut
menjual kue tradisional khas makan masyarakat Bondowoso namanya "luk
khuluk". Luk khuluk ini terbuat dari ketela yang ditumbuk halus dan
didalamnya diisi dengan gula aren yang buat bulat. Sungguh kue tersebut
menggoda selera, pasalnya penulis sangat doyan sekali waktu mondok di pesantren
al-Utsmani karena hematisasi sebagai ganti dari makan nasi.
Tidak seberapa lama, datanglah
seorang laki-laki yang sudah renta sekali kisaran umur 90 tahunan. Ia
kelihatannya sangat lapar sekali kendatipun ditahan karena tidak memiliki cukup
uang.
Penulis mencoba menyapa dan
mendekatinya sembari bertanya,
"Embah ini dari mana?tanyaku.
"Dari Banyuangi" jawabnya singkat.
Akhirnya, kita mengobrol lama
sekali mengenai sejarah hidupnya dan anak-anaknya.
Singkat cerita, ia pernah menikah
dengan seorang perempuan dan dikarunia tiga orang anak setelah isterinya
meninggal dunia saat persalinan anak yang nomer tiga.
Menjelang beberapa tahun
kemudian, ia menikah lagi dengan seorang perempuan dan dikarunia satu orang
anak lagi namun, lagi-lagi pasca persalinannya isteri yang nomer dua meninggal
dunia juga.
Selama ia ditinggal mati oleh kedua
isterinya, ia yang bertindak sebagai ayah sekaligus ibu untuk mengasuh keempat
anak-anaknya.
Beberapa tahun kemudian,
anak-anaknya ada yang sudah menikah dapat jodoh orang Sulawesi, Bali, Banyuangi
dan Chiret Cermee Bondowoso. Puteri bungsunya itu mendapatkan suami dari
Bondowoso yang berprofesi sengai guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kendati demikian, ia tidak mau
tinggal dirumah anak-anaknya, alasan simpel sekali...Ia tidak mau membebani
anak-anaknya apalagi sembako mulai beranjak naik.
Subhanallah, sungguh sosok ayah
yang HEBAT sekali, kenapa demikian? coba bayangkan ia sudah ringkih,
sakit-sakitan dan menempati gubuk kecil dipinggir jalan milik orang lain.
Penulis menawarkan diri,
"monggo silahkan bapak! mau
pesan apa?" tanyaku lagi.
"saya belikan nasi saja,
soalnya saya mulai kemarin belum makan." tuturnya.
"Ibu, tolong mbah ini,
berikan nasi biar saya yang bayar". Bilangnya penulis kepada ibu yang
punya warung tersebut.
Ternyata, setelah penulis korek
lebih dalam lagi ia jarang makan, karena ia tidak ingin membebani anak-anaknya.
Hikmah dari cerita diatas, kita
sebagai anak harus tahu betul terhadap kebutuhan orang tua kita, acapkali
mereka menyembunyikan kebutuhannya karena ia tidak ingin dan malu untuk
memberitahukan kepada kita selaku anak-anaknya.
Oleh karena itu, jika kita ingin
diperlakukan baik oleh anak-anak kita dimasa depan maka, perlakukan anak-anak
kita dengan baik mulai dari sekarang.
Pepatah madura mengatakan,
"Bhendeih, jhe'
kabhendeh...."
Artinya, anak kita berikan modal
uang untuk mencari ilmu setinggi mungkin, bukan dieksploitasi tenaganya untuk
mencari uang demi memenuhi kepentingan kita selaku orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar